Flora and Son punya cerita yang simpel dan begitu dekat dengan realitas kehidupan sebagian orang, yaitu bagaimana seorang ibu tunggal yang berusaha memperbaiki hubungan dengan anak remajanya. Flora diceritakan melahirkan Max saat dia dulu masih remaja, ditambah lagi Flora akhirnya bercerai dan tidak akur dengan ayahnya Max. Berbagai hal tersebut membuat Flora lupa bahwa dia harus menjadi sosok ibu yang selalu ada untuk anaknya.
Sudah ceritanya simpel, konflik yang terjadi di antara Flora, Max, dan mantan suaminya juga bukanlah sesuatu yang lebai. Film ini memperlihatkan bagaimana seorang ibu muda harus menghadapi kenakalan remaja. Di sisi lain, Flora juga masih mau bersenang-senang seperti perempuan seumurannya yang belum punya anak. Berhubung jarak usia mereka tidak terlalu jauh, pertengkaran Flora dan anaknya malah seperti pertengkaran antara kakak dan adik.
Menariknya, John Carney, yang merupakan sutradara sekaligus penulis naskah Flora and Son, menjadikan musik sebagai alat yang mempersatukan banyak hal di film ini, mulai dari rekonsiliasi antara Flora dan anaknya hingga bagaimana Flora menemukan sosok laki-laki baru dalam hidupnya. Carney benar-benar memberikan pengembangan karakter yang begitu bagus untuk Flora, walau Flora enggak langsung sepenuhnya menjadi sosok yang sempurna di akhir filmnya.
Dengan durasi 1 jam 37 menit, penceritaan Flora and Son disajikan secara padat dan sama sekali tidak bertele-tele. Ditambah lagi, pace ceritanya mengalir dengan santai hingga berhasil membuat saya terikat dengan ceritanya di sepanjang film. Pengalaman menonton Flora and Son semakin menyenangkan dengan berbagai elemen musikalnya, yang mana momen menghangatkan hati sebagian besar terjadi ketika elemen musikan film ini keluar.